Istilah implementasi memiliki banyak arti. Beauchamp (1975: 164) mengartikan implementasi kurikulum sebagai "a process of putting the curriculum to work". Berdasarkan pendapat tersebut, sesungguhnya, implementasi kurikulum merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan atau melaksanakan kurikulum (dalam arti rencana tertulis) ke dalam bentuk nyata di kelas, yaitu terjadinya proses transmisi dan transformasi segenap pengalaman belajar kepada peserta didik. Beberapa istilah yang bisa disepadankan dengan istilah implementasi kurikulum adalah pembelajaran atau pengajaran atau proses belajar mengajar.
Melalui pengertian yang demikian, implementasi kurikulum memiliki posisi yang sangat menentukan bagi keberhasilan kurikulum sebagai rencana tertulis. Hasan (2000: 1) mengatakan "… jika kurikulum dalam bentuk rencana tertulis dilaksanakan maka kurikulum dalam bentuk proses adalah realisasi atau implementasi dari kurikulum sebagai rencana tertulis". Bisa jadi, dua orang guru yang sama-sama mengimplementasikan sebuah kurikulum (misal, kurikulum mata pelajaran matematika) akan diterima atau dikuasai anak secara berbeda bukan karena isi atau aspek-aspek kurikulumnya yang berbeda, tetapi lebih disebabkan perbedaan dalam implementasi kurikulum yang diupayakan guru tersebut.
Begitu urgennya posisi implementasi bagi terwujud atau tidaknya sebuah kurikulum, sangatlah tepat manakala persoalan implementasi kurikulum merupakan persoalan esensial di kalangan pengembang dan pelaksana kurikulum. Terlebih lagi jika sistem persekolahan yang ada lebih menekankan dimensi proses dari pada hasil belajar. Oleh karena itu, agar implementasi kurikulum dapat terwujud sesuai dengan kurikulum sebagai rencana tertulis, disarankan Hasan (2000: 1) agar terlebih dahulu memahami secara tepat tentang filsafat dan teori yang digunakan.
Ditegaskan oleh Sukmadinata (1988: 218) dengan mengatakan bahwa implementasi kurikulum hampir seluruhnya tergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Bagaimana kaitannya dengan kegiatan pembelajaran dalam implementasi KTSP? Mengacu pada asumsi bahwa kurikulum dan pembelajaran memiliki kaitan yang erat dan saling menunjang maka pembahasan mengenai pembelajaran dalam konteks implementasi KTSP tentu tidak bisa dilepaskan dari karakteristik KTSP. Oleh karena itu, apabila KTSP memiliki karakteristik utama yaitu human competence dan mastery learning, tentu saja model pembelajarannya haruslah mencerminkan dan berbasis pada dua karakteristik tersebut.
Selanjutnya, model pembelajaran manakah yang relevan dengan KTSP? Puskur Balitbang Depdiknas (2002) mengajukan karakteristik model pembelajaran yang relevan digunakan untuk implementasi KTSP yaitu model-model pembelajaran yang mampu mengkondisikan peserta didik meraih atau memperoleh sejumlah pengalaman belajar yang berupa; pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Berkaitan dengan itu, Saylor, dkk. (1981: 279) mengajukan rambu-rambu model-model pembelajaran yang relevan untuk implementasi KTSP, yaitu; desain sistem instruksional, pembelajaran berprograma, dan model pembelajaran latihan dan dril (practice and drill). Sementara itu, jika dikaitkan dengan klasifikasi model pembelajaran yang dikemukakan Joyce dan Weils (1992) maka rumpun model pembelajaran “sistem perilaku” dipandang relevan untuk implementasi KTSP, yang meliputi; belajar tuntas, pembelajaran langsung, belajar kontrol diri, latihan pengembangan konsep dan ketrampilan, dan latihan asersif.
Banyak model pembelajaran yang diasumsikan relevan untuk implementasi KTSP. Dalam hal ini yang paling penting adalah “seberapa jauh model-model pembelajaran tersebut mampu memfasilitasi peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang mencerminkan penguasaan suatu kompetensi yang dituntut kurikulum ?”
Kadar proses pembelajaran diamati dari aspek, (a) Adanya keterlibatan siswa baik secara fisik, mental, emosional, maupun intelektual dalam proses pembelajaran. Hal ini diamati dari tingginya motivasi siswa untuk menyelesaikan setiap tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan; (b) Siswa belajar secara langsung, yaitu konsep dan prinsip dipelajari melalui pengalaman nyata, seperti mengalami sendiri atau kerja sama dalam kelompok; (c) Adanya keinginan siswa untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif; (d) Keterlibatan siswa dalam mencari dan memanfaatkan sumber belajar; (e) Adanya keterlibatan siswa dalam melakukan prakarsa, seperti menjawab dan mengajukan pertanyaan, berusaha memecahkan masalah (mengerjakan soal) selama proses pembelajaran; dan (f) Terjadi interaksi multi-arah (keterlibatan semua siswa secara merata).
Kadar evaluasi pembelajaran diamati dan diukur dari aspek, (a) keterlibatan siswa dalam mengerjakan tugas-tugas, (b) kemauan siswa untuk menyusun laporan hasil belajar yang diperolehnya, dan (c) ketuntasan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan makna esensial yang dikemukakan di atas, pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan suatu model yang betul-betul peduli dan memperhatikan keterkaitan antara kemampuan siswa dengan pengalaman belajar atau secara khas dengan strategi pembelajaran kontekstual. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study berupaya menemukan dan memilih sejumlah metode yang akan dijadikan sebagai perlakuan yang tepat, yaitu perlakuan yang sesuai dengan perbedaan kemampuan siswa. Kemudian melalui suatu interaksi yang bersifat multiplikatif dikembangkan perlakuan-perlakuan tersebut dalam pembelajaran, sehingga akhirnya dapat diciptakan optimalisasi prestasi akademik.
Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study memiliki sejumlah manfaat di antaranya: (1) mengatasi kelemahan pada pembelajaran klasikal maupun individual, (2) membantu menjadikan materi yang abtrak dan sulit mendapatkan contoh di lingkungan sekolah menjadi lebih konkrit, (3) memungkinkan pengulangan sampai berkali-kali tanpa rasa malu bagi yang berbuat salah, (4) mendukung pembelajaran individual, (5) lebih mengenal dan terbiasa dengan kerja tim tutor sebaya, (6) merupakan media pembelajaran yang efektif, (7) menciptakan pembelajaran yang “enjoyment” atau “joyful learning”.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dimengerti bahwa dalam mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study, masalah pengelompokan dan pengaturan lingkungan serta tugas-tugas belajar bagi masing-masing karakteristik kemampuan siswa merupakan masalah mendasar yang harus mendapat perhatian peneliti. Berkaitan dengan kontekstual merupakan strategi yang berisikan sejumlah metode pembelajaran, maka metode instruksional yang digunakan dalam strategi ini adalah inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, dan research-oriented learning yang dikemas dalam model project.
Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study ini dapat dipakai guru untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagi pengetahuan, serta tanggung jawab individu tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pembelajaran ini, yaitu (1) untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa dapat ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas, (2) komponen emosional lebih penting daripada intelektual, yang tak rasional lebih penting daripada yang rasional, dan (3) untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah harus lebih dahulu memahami komponen emosional dan irrasional.
Semoga bermanfaat.
Melalui pengertian yang demikian, implementasi kurikulum memiliki posisi yang sangat menentukan bagi keberhasilan kurikulum sebagai rencana tertulis. Hasan (2000: 1) mengatakan "… jika kurikulum dalam bentuk rencana tertulis dilaksanakan maka kurikulum dalam bentuk proses adalah realisasi atau implementasi dari kurikulum sebagai rencana tertulis". Bisa jadi, dua orang guru yang sama-sama mengimplementasikan sebuah kurikulum (misal, kurikulum mata pelajaran matematika) akan diterima atau dikuasai anak secara berbeda bukan karena isi atau aspek-aspek kurikulumnya yang berbeda, tetapi lebih disebabkan perbedaan dalam implementasi kurikulum yang diupayakan guru tersebut.
Begitu urgennya posisi implementasi bagi terwujud atau tidaknya sebuah kurikulum, sangatlah tepat manakala persoalan implementasi kurikulum merupakan persoalan esensial di kalangan pengembang dan pelaksana kurikulum. Terlebih lagi jika sistem persekolahan yang ada lebih menekankan dimensi proses dari pada hasil belajar. Oleh karena itu, agar implementasi kurikulum dapat terwujud sesuai dengan kurikulum sebagai rencana tertulis, disarankan Hasan (2000: 1) agar terlebih dahulu memahami secara tepat tentang filsafat dan teori yang digunakan.
Ditegaskan oleh Sukmadinata (1988: 218) dengan mengatakan bahwa implementasi kurikulum hampir seluruhnya tergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Bagaimana kaitannya dengan kegiatan pembelajaran dalam implementasi KTSP? Mengacu pada asumsi bahwa kurikulum dan pembelajaran memiliki kaitan yang erat dan saling menunjang maka pembahasan mengenai pembelajaran dalam konteks implementasi KTSP tentu tidak bisa dilepaskan dari karakteristik KTSP. Oleh karena itu, apabila KTSP memiliki karakteristik utama yaitu human competence dan mastery learning, tentu saja model pembelajarannya haruslah mencerminkan dan berbasis pada dua karakteristik tersebut.
Selanjutnya, model pembelajaran manakah yang relevan dengan KTSP? Puskur Balitbang Depdiknas (2002) mengajukan karakteristik model pembelajaran yang relevan digunakan untuk implementasi KTSP yaitu model-model pembelajaran yang mampu mengkondisikan peserta didik meraih atau memperoleh sejumlah pengalaman belajar yang berupa; pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Berkaitan dengan itu, Saylor, dkk. (1981: 279) mengajukan rambu-rambu model-model pembelajaran yang relevan untuk implementasi KTSP, yaitu; desain sistem instruksional, pembelajaran berprograma, dan model pembelajaran latihan dan dril (practice and drill). Sementara itu, jika dikaitkan dengan klasifikasi model pembelajaran yang dikemukakan Joyce dan Weils (1992) maka rumpun model pembelajaran “sistem perilaku” dipandang relevan untuk implementasi KTSP, yang meliputi; belajar tuntas, pembelajaran langsung, belajar kontrol diri, latihan pengembangan konsep dan ketrampilan, dan latihan asersif.
Banyak model pembelajaran yang diasumsikan relevan untuk implementasi KTSP. Dalam hal ini yang paling penting adalah “seberapa jauh model-model pembelajaran tersebut mampu memfasilitasi peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang mencerminkan penguasaan suatu kompetensi yang dituntut kurikulum ?”
Kadar proses pembelajaran diamati dari aspek, (a) Adanya keterlibatan siswa baik secara fisik, mental, emosional, maupun intelektual dalam proses pembelajaran. Hal ini diamati dari tingginya motivasi siswa untuk menyelesaikan setiap tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan; (b) Siswa belajar secara langsung, yaitu konsep dan prinsip dipelajari melalui pengalaman nyata, seperti mengalami sendiri atau kerja sama dalam kelompok; (c) Adanya keinginan siswa untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif; (d) Keterlibatan siswa dalam mencari dan memanfaatkan sumber belajar; (e) Adanya keterlibatan siswa dalam melakukan prakarsa, seperti menjawab dan mengajukan pertanyaan, berusaha memecahkan masalah (mengerjakan soal) selama proses pembelajaran; dan (f) Terjadi interaksi multi-arah (keterlibatan semua siswa secara merata).
Kadar evaluasi pembelajaran diamati dan diukur dari aspek, (a) keterlibatan siswa dalam mengerjakan tugas-tugas, (b) kemauan siswa untuk menyusun laporan hasil belajar yang diperolehnya, dan (c) ketuntasan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan makna esensial yang dikemukakan di atas, pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan suatu model yang betul-betul peduli dan memperhatikan keterkaitan antara kemampuan siswa dengan pengalaman belajar atau secara khas dengan strategi pembelajaran kontekstual. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study berupaya menemukan dan memilih sejumlah metode yang akan dijadikan sebagai perlakuan yang tepat, yaitu perlakuan yang sesuai dengan perbedaan kemampuan siswa. Kemudian melalui suatu interaksi yang bersifat multiplikatif dikembangkan perlakuan-perlakuan tersebut dalam pembelajaran, sehingga akhirnya dapat diciptakan optimalisasi prestasi akademik.
Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study memiliki sejumlah manfaat di antaranya: (1) mengatasi kelemahan pada pembelajaran klasikal maupun individual, (2) membantu menjadikan materi yang abtrak dan sulit mendapatkan contoh di lingkungan sekolah menjadi lebih konkrit, (3) memungkinkan pengulangan sampai berkali-kali tanpa rasa malu bagi yang berbuat salah, (4) mendukung pembelajaran individual, (5) lebih mengenal dan terbiasa dengan kerja tim tutor sebaya, (6) merupakan media pembelajaran yang efektif, (7) menciptakan pembelajaran yang “enjoyment” atau “joyful learning”.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dimengerti bahwa dalam mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study, masalah pengelompokan dan pengaturan lingkungan serta tugas-tugas belajar bagi masing-masing karakteristik kemampuan siswa merupakan masalah mendasar yang harus mendapat perhatian peneliti. Berkaitan dengan kontekstual merupakan strategi yang berisikan sejumlah metode pembelajaran, maka metode instruksional yang digunakan dalam strategi ini adalah inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, dan research-oriented learning yang dikemas dalam model project.
Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study ini dapat dipakai guru untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Pembelajaran matematika kontekstual berbasis lesson study dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagi pengetahuan, serta tanggung jawab individu tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pembelajaran ini, yaitu (1) untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa dapat ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas, (2) komponen emosional lebih penting daripada intelektual, yang tak rasional lebih penting daripada yang rasional, dan (3) untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah harus lebih dahulu memahami komponen emosional dan irrasional.
Semoga bermanfaat.
Posting Komentar